ANALISIS DRAMA “KEJAHATAN MEMBALAS DENDAM” KARYA IDRUS MELALUI PENDEKATAN TEORI STILISTIKA

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
a. Pengertian Stilistika
Dalam Tifa Penyair dan Daerahnya, Jassin merumuskan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya (1977:127). Dalam Mitos dan Komunikasi, “Strategi untuk Suatu Penyelidikan Stilistika,” Yunus merumuskan stilistik (a) dibatasi kepada penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, stilistika adalah ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra tata bahasa yang meliputi kebiasaan-kebiasaan atau ungkapan- ungkapan dalam pemakaian bahasa yang mempunyai efek kepada pembacanya (menyelidiki pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan gaya bahasa).
Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika.
1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan.
2) Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.

b. Apakah drama itu sebenarnya?
Bila saja kita berbicara tentang drama sebagai suatu style, maka kita perlu berhati-hati terhadap bentuk-bentuk yang berbeda. Bahwa style itulah yang telah digunakan selama beribu-ribu tahun lebih. Awal mulanya, drama dimulai dengan suatu bentuk upacara orang-orang yang tak mempercayai agama dan pesta-pesta muncul yaitu bentuk drama-drama dari jenis hiburan yang pertama kali muncul.
Ada begitu banyak jenis drama yang berbeda-beda sangat wajarlah rasanya bila dalam hal saya memulai analisa tentang suatu drama dengan suatu definisi yang cukup lama (Adhy Asmara, 1983:11).
Kata drama berasal dari bahasa Greek; tegasnya dari kata kerja dran yang berarti “berbuat, to act atau to do “ (Morris, dalam Tarigan 1984: 476). Demikianlah dari segi etimologinya, drama mengutamakan perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakekat setiap karangan yang bersifat drama. Moulton mengatakan bahwa “drama adalah hidup yang ditampilkan dalam gerak” dan Bathazar Verhagen mengemukakan bahwa “drama adalah kesenian melukis sifat dan sikap manusia dengan gerak” (Slametmuljana, dalam Tarigan 1984:70).
Sebagai sutau genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibandingkan dengan genre puisi ataupun genre fiksi. Kesan dan kesadaran terhadap drama lebih difokuskan kepada bentuk karya yang bereaksi langsung secara konkret. Drama tidak dapat diperlakukan sebagai puisi ketika mencoba mendekatainya, karena puisi penekanannya sebagai suatu hasil cipta intuisi imajinasi penyairnya. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistic imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sastra lebih terfokus sebagai suatu karya yang lebih berorientasi kepada seni pertunjukan, dibandingkan sebagai genre sastra (Hasanuddin, 2009:1-2).
Pengertian tentang drama yang dikenal selama ini, misalnya dengan menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan tidaklah salah. Kata drama berasal dari kata Yunani draomai (Harymawan, dalam Hasanuddin, 2009:2) yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainnya. Jadi drama berarti perbuatan atau tindakan. Drama dituliskan dengan tujuan untuk dipentaskan, tidaklah berarti bahwa semua karya drama yang ditulis pengarang haruslah dipentaskan. Tanpa dipentaskan sekali pun, karya drama tetap dapat dipahami, dimengerti, dan dinikmati.
Pengertian drama yang dikenal selama ini, yang hanya diarahkan kepada dimensi seni pertunjukan atau seni lakon, ternyata memberikan cerita yang kurang baik terhadap drama, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Konsepsi drama adalah peniruan atau tindakan yang tidak sebenarnya, berpura-pura di atas pentas, menghasilkan idiom-idiom yang menunjukan bahwa drama bukanlah dianggap “sesuatu” yang serius dan berwibawa. Dengan demikian, drama sebagai salah satu genre sastra seharusnya dipahami bahwa didalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran dan keseriusan, bukan sekedar “permainan” belaka. Sebagai sebuah karya yang mempunyai dua dimensi, maka pementasan yang harus dianggap sebagai penafsiran lain dari penafsiran yang telah ada yang dapat ditarik dari suatu karya drama.
Dalam “The American College Dictionary” (Tarigan, 1984:70) dijelaskan bahwa drama :
1. suatu karangan dalam prosa atau puisi yang menyajikan dalam dialog atau pantomime suatu ceritera yang mengandung konflik atau kontras seseornag tokoh; terutama sekali suatu cerita yang diperuntukan buat dipentaskan di atas panggung; sutau lakon.
2. cabang sasatra yang mengandung komposisi-komposisi yang sedemikian sebagai subyeknya; seni atau representasi dramatik.
3. seni yang menggarap lakon-lakom mulai sejak penuliasn sampai produksi terakhir.
4. setiap rangkaian kejadian yang mengandung hal-hal atau akibat-akibat yang menarik hati secara dramatic.
(Barnhart [et al], 1960:365.
Memang terbukti dari pengalaman bahwa kalau kita berbicara menegnai drama, maka selalu pula kita bertemu dengan istilah text play, repertoire, theatre, sebab dalam sejarah perkembangannya drama ini mengalami berbgai pengaruh dalam pengertiannya. Lebih-lebih dalam sastra Indonesia perubahan tersebut terasa benar, karena kita harus memisahkan dua bagian pengertian drama, yaitu (Tarigan, 1984:73)
1. drama sebagai text play atau repertoire; dan
2. drama sebagai theatre atau performance.
Drama artinya laku, lakuan atau lakon di atas panggung. Isinya sama sifatnya dengan roman, yakni cerita. Dan seperti juga roman, drama itu dituliskan, sebab itu digolongkan dalam kesusastraan. Dalam bahasa Indonesia ada beberapa nama buat drama itu, yakni komedi stambul, komedi bangsawan, opera, tonil dan sandiwara. Disebut komedi stambul karena dulu ceritanya tentang kejadian di Istambul atau Konstantinopel, Parsi, Arab atau India dan kebanyakan dari cerita-cerita Seribu Satu Malam. Disebut komedi bangsawan karena ceritanya tentang orang bangsawan dan dipertunjukan untuk orang bangsawan ditanah Semenanjung (Jassin, 1977:87).
Jadi, drama adalah rentetan kejadian yang merupakan cerita. Kecakapan pengarang dramalah menghubung-hubungkan kejadian-kejadian diatas panggung jadi cerita yang mengikat perhatian. Kebanyakan pengarang drama yang mashur, misalnya Sofokles, Shakesphare, dan Moliere selain penulis drama juga pemain diatas panggung. Dalam kesusastraan asing drama itu dibagi pula atas dua macam, yakni disebut tragedy dan komedi. Dari angkatan 1945 pengarang drama yang terkenal ialah Usmar Ismail. Oleh Balai Pustaka telah dikumpulkan beberapa dramanya dengan judul : Sedih dan Gembira, 1948. (Jassin, 1977:88).
B. Rumusan Masalah
Dalam menganalisis sebuah teks drama, banyak teori yang dapat diaplikasikan. Hal ini tergantung dari sudut mana sebuah teks drama akan dikaji secara mendalam. Dalam menganalisa suatu drama dinyatakan sebagai kegiatan ilmiah yang mendasarinya. Analisis drama dilakukan dengan kemauan seobjektif mungkin, dan tidak dilandasi pandangan subjektif penganalisis. Analisis drama menuntut penjelasan yang cermat dan didukung oleh data-data remit (Hasanuddin, 2009:125).
Dalam menyusun makalah ini, akan menganalisis karya sastra yang berupa drama karya Idrus yang berjudul “Kejahatan Membalas Dendam” dengan menggunakan teori stilistika, antara lain:
a. Bahasa dan Retorika
Seperti yang telah dibicarakan di muka dalam pendahuluan, drama adalah harus ditulis seperti halnya pekerjaan seni drama, oleh sebab itu drama tersebut menjadi relative sederhana bagi kita untuk mempelajari penggunaan bahasa dan alat-alat retorika tertentu dari penulisannya. Retorika adalah keterampilan berbahasa secara efektif. Apabila kita memikirkan tentang penggunaan bahasanya dalam drama-drama, kita selalu akan berhubungan dengan keefektifan tujuan-tujuannya dari penulisan drama tersebut. Bahasa drama dan semua peralatan retorika tersebut biasanya disajikan seluruhnya kepada penonton lewat media pembicaraan-pembicaraan para karakternya. Tak ada narasi sama sekali. Hanya ada yang utama, dialog dan analisa terhadap bahasa sebuah drama walaupun demikian tak lebih daripada suatu survey tentang bagaimana karakter-karakter tertentu berbicara (Adhy Asmara, 1983:77).
b. Bahasa Kiasan
Semua penulis drama pada kenyataannya semuanya adalah penulis menggunakan bahasa kiasan. Yaitu penulis-penulis drama menyatakan persoalan-persoalan dalam cara di luar yang tersurat, dengan mengemukakan ide-idenya dengan penggunaan analogi-analogi yang bias disajikan dalam cara yang berbeda-beda. Bila kita menggunakan kiasan, kita mengatakan sesuatu hal dengan sesuatu hal yang lainnya lagi, setidak-tidaknya dalam suatu cara kiasan atau analogi (Asmara dr, 1983:85).
Bahasa kiasan berarti membandingkan ssuatu dengan suatu hal yang lain, berarti mencoba menentukan ciri-ciri yang menunjukan kesamaan antara dua hal tersebut (Keraf, 2010:132). Misal kita sebelumnya membaca ‘matahari itu adalah sebuah lampu panas di langit’ kita telah memberikan ide yang sama dengan cara sebuah metaphora.
c. Gaya Bahasa Retoris
Macam- macam gaya bahasa retoris menurut Gorys Keraf antara lain, aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asyndeton, polisindeton, kiasmus, hiperbola dan lain-lain. Gaya bahasa yang digunakan dalam drama “Kejahatan Membalas Dendam” yaitu hiperbola. Hiperbola ialah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan sesuatu hal (Keraf, 2010:135).
Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang mempergunakan bahasa sebagai medium drama. Penggunaan bahasa tulis dengan segala kelebihan dan kekurangan harus dimanfaatkan sebaik-sebaiknya oleh pengarang (Hasanuddin, 1996:99).
d. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Bunyi
Bunyi dapat digunakan sebagai gaya bahasa untuk menimbulkan suatu efek pada karya sastra. Gaya bunyi ini ialah aliterasi dan asonansi. Yang dimaksud aliterasi ialah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama dan yang dimaksud asonansi ialah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vocal yang sama (Keraf, 2010:130).
e. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Yaitu bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang di pentingkan dalam kalimat tersebut. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang digunakan dalam analisa drama karya Idrus ini ialah Klimaks dan Paralelisme.
Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya (Keraf, 2010:124).
Gaya bahasa paralelisme ialah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 2010:126).
f. Pemanfaatan Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif (makna sebenarnya) adalah makna yang paling dasar pada suatu kata, disebut makna denotative karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan, stimulus (pihak pembicara) dan respon (pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap panca indra (kesadaran) dan rasio manusia (Keraf, 2010:28).
Makna konotatif (makna kiasan) suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju–tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar, dipihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Keraf, 2010:29).
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam menganalisa sebuah drama seseorang harus mengenal akan pentingnya menempatkan sesuatu drama dalam arti umum. Umumnya, untuk drama-drama jenis ini yaitu apabila drama itu suatu drama pahlawan, kritik itu dapat mencatat bahwa pahlawan tersebut memberikan ciri yang khas, seorang penganut cinta dan pejuang, dan seperti pada kebanyakan pahlawan-pahlawan dari drama kepahlawanan adalah menyedihkan antara cinta dan tugas.
Dalam menganalisa drama sebagai suatu genre sastra, berarti suatu usaha ilmiah yang dilakukan seseorang dengan menggunakan logika rasional dan metode tertentu secara konsisten terhadap unsur-unsur drama sehingga menemukan perumusan umum tentang keadaan drama yang diselidiki (Hasanuddin, 2009:125).
Di dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa utama. Namun begitu, pengertian penggarapan bahasa di sini bukanlah tentang dialog itu sendiri, melainkan bagaimana bahasa dipergunakan pengarang sehingga terjadi situasi bahasa. Mungkin lebih tepat jika yang dimaksudkan dengan penggarapan bahasa adalah biasa disebut dengan style (Hasanuddin, 1996:98).
Karya sastra yang akan dianalisis yaitu jenis karya satra drama karya Idrus yang berjudul “kejahatan membalas dendam” (Sinopsis).
“Kejahatan Membalas Dendam”
karya Idrus
Para pelaku, antara lain:
• ISHAK,
• SATILAWATI,
• KARTILI,
• ASMADIPUTERA,
• SUKSORO,
• PEREMPUAN TUA,

BABAK PERTAMA
Sebuah jalan yang sepi di Jakarta. Di sebelah kanan agak ke muka sebuah lentera gas, menerangi jalan itu sedikit ketika layar dibuka.
Adegan pertama
Seorang agen polisi mondar-mandir, lalu pergi.
Adegan kedua
Sudah itu muncul dari kanan seorang perempuan muda, melihat ke sana ke mari.
Adegan ketiga
Dari sebelah kiri masuk seorang laki-laki. Orang-orang dalam babak ini berbicara
seperti ketakutan, tidak lepas suaranya.
ISHAK : “ Tepat betul datangnya. Pukul sepuluh. Hari Selasa”.
SATILAWATI : (terkejut) “Aku kira engkau tidak akan datang”.
ISHAK : “ Asmadiputera dan Kartili mana?”
SATILAWATI : ” Segera menyusul. Apa yang akan kau katakan kepadaku?”
ISHAK : “Banyak sekali. Tapi yang terpenting ialah: aku cinta padamu”.
SATILAWATI :” Kalau itu tidak perlu di sini benar. Mari kita ke rumah”.
ISHAK :” Aku akan pergi”.
SATILAWATI :” Pergi? Ke mana?”
ISHAK :” Jauh, jauh sekali. Di rumahmu aku tidak dapat bercakap”.
SATILAWATI :” Mengapa?”
ISHAK :” Tidak boleh orang mendengarnya, ayah pun tidak”.
SATILAWATI : “Tapi ayah selalu baik kepada kita. Lagi ia tidak ada di rumah
sekarang. Pergi menjemput nenek ke setasiun”.
ISHAK : ” Yang baik sekarang ini hanya Asmadiputera, Kartili dan engkau, Satilawati.
SATILAWATI : “Aku seperti main dalam cerita detektip saja rasanya”.
ISHAK :” Tidak banyak bedanya, Satilawati. Aku harus berbicara dengan tunanganku dalam gelap, di jalan yang sunyi. Ha, ha, ha, ha”.
SATILAWATI :” Tapi apa yang hendak kaukatakan?”
ISHAK :” Engkau pelupa rupanya. Sebentar ini baru kukatakan. Aku cinta padamu”
dan aku akan pergi”.
SATILAWATI :” Engkau menyebutkan cinta dan pergi itu dalam satu nafas saja.
Seakan-akan ada hubungannya antara kedua itu”.
…dst.
Tema yang digunakan dalam drama “Kejahatan membalas Dendam” yakni Ishak yang mencintai Satilawati, yang pada saat pengungkapan cintanya itu ketika Ishak akan pergi jauh dari tempat Satilawati.
Ada dua pembahasan stilistika dalam makalah ini, yaitu secara umum dan secara khusus. Secara umum, artinya penganalisisan pemakaian gaya bahasa yang tersirat dalam keseluruhan cerita, yang menyangkut penokohan, tema, penceritaan, setting, dan pemaknaan cerita. Secara khusus, artinya penganalisisan pemakaian gaya bahasa pada bahasa yang digunakan pengarang dalam naskah “Kejahatan Membalas Dendam” karaya Idrus.

Pembahasan secara umum
Dalam naskah “Kejahatan Membalas Dendam” ini merupakan drama yang banyak menggunakan bahasa kiasan tetapi dalam naskah drama ini terdapat pula makna bukan kiasan. Naskah ‘’ Kejahatan Membalas Dendam’’ secara umum menggunakan gaya bahasa kiasan, yaitu mengkiaskan perilaku manusia yang diwujudkan dalam diri ishak, satilawati, kartili, asmadiputera, suksoro, perempuan tua, menggambarkan / mengkiaskan sosok manusia yang begitu setia mengabdi untuk kemajuan dan kewibawaan.
Naskah drama yang berjudul “Kejahatan Membalas Dendam” sebagian menggunakan gaya bahasa kiasan atau perumpamaan, seperti: dalam dialog “Tidak banyak bedanya, Satilawati. Aku harus berbicara dengan tunanganku dalam gelap, di jalan yang sunyi. Ha, ha, ha, ha”.

Pembahasan secara khusus
Dalam naskah “kejahatan Membalas Dendam” karya Idrus memanfaatkan berbagai gaya bahasa yang dapat menimbulkan efek tertentu pada pembaca dan juga dapat menjaga estetika karya itu sendiri.
a. Pemanfaatan Gaya Bahasa dan Retorika
Apabila saja kita memikirkan tentang memikirkan tentang penggunaan bahasanya dalam drama-drama kita selalu akan berhubungan dengan keefektifan tujuan-tujuannya dari penulisan drama tersebut.
Bahasa menentukan para karakternya. Telah disebutkan dalam cuplikan percakapan drama diatas antara Ishak dan Satilawati, dimana seorang karakter dibuat berbicara agar terlihat pembentukan suatu karakter masing-masing. Dalam bahasa yang mereka gunakan, terlihat dari kata-katanya terlihat bahwa mereka sedang berada di jalan. Di lihat dari cuplikan bahasanya, bahwa tokoh Ishak dengan karakter seseorang yang senang membuat orang lain penasaran terhadap dirinya, yaitu terlihat dalam perkataannya ‘Jauh, jauh sekali. Di rumahmu aku tidak dapat bercakap‘ dan ‘Tidak boleh orang mendengarnya, ayah pun tidak’. Dan dari kalimat ‘Tidak banyak bedanya, Satilawati. Aku harus berbicara dengan tunanganku dalam gelap, di jalan yang sunyi. Ha, ha, ha, ha’. Terlihat dari bahasa yang digunakan bahwa Ishak merupakan tokoh dengan karakter yang humoris.
Kata-katanya adalah betul-betul dia ingin meyakinkan kepada seseorang yang sedang diajak bicara, yaitu Satilawati. Kemudian dari bahasa yang digunakan oleh Satilawati, menunjukan ia karakter tokoh yang tidak bersabar, yaitu pada kalimat ‘Tapi apa yang hendak kaukatakan?’. Jadi,dapat dilihat dari dialog antar tokoh diatas telah menggunakan bahasa bahasa yang baik sebagai suatu alat pembentuk karakter dan akan mengetahui jiwa kepribadiaannya.
b. Pemanfaatan Gaya Bahasa Kiasan
Pembicaraan dialog antar tokoh diatas ditampilkan oleh karakter-karakter utama lewat drama ‘Kejahatan Membalas Dendam’ memberikan contoh yang dapat mengenal pembicaraan kiasannya, salah satunya ditemukan dalam pembicaraan tokoh Ishak, yaitu dalam dialog ‘Tidak banyak bedanya, Satilawati. Aku harus berbicara dengan tunanganku dalam gelap, di jalan yang sunyi. Ha, ha, ha, ha’. Dilihat dari kalimat tersebut telah menggambarkan secara kiasan dalam bentuk menunjukan perubahan yang berarti nama. Gaya bahasa yang digunakan dalam kalimat dialog tersebut adalah metonimia, yaitu suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Sering dalam suatu drama kita mengalami suatu situasi dimana karakternya tidak memahami secara keseluruhan pentingnya permainan dan pernyataan-pernyataannya (Adhy Asmara, 1983:103). Terlihat dalam dialog tokoh Satilawati, yaitu ‘Tepat betul datangnya. Pukul sepuluh. Hari Selasa’. Dilihat dari kalimat tersebut menggunakan ungkapan kiasan yaitu berupa gaya bahasa ironi atau sindiran. Yaitu suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Keraf, 2010:143). Kemudian dalam dialog kalimat ‘Aku seperti main dalam cerita detektip saja rasanya’. Dari dialog kalimat tersebut telah menggunakan ungkapan kiasan yaitu metafora. Metafora ialah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Tokoh Satilawati dalam dialog itu menggambarkan bahwa ia menganggap dirinya seperti seseorang yang penuh dengan kesibukan peristiwa yang misterius.
Selain bahasa kiasan, juga terdapat penggunaan bahasa sehari-hari yang sangat khusus dari bahasa kiasan itu ditemukan dalam pembicaraan biasa setiap hari; bahasa dialek, atau bahasa sehari-hari itu. Tentu saja ditulis dalam suatu bentuk gaya yang rendah, karena barangkali kita bias mengingat lagi dengan baik dari drama “Kejahatan Membalas Dendam”. Yaitu dalam dialog kalimat tokoh Ishak ‘Engkau pelupa rupanya. Sebentar ini baru kukatakan. Aku cinta padamu’. Bahasanya adalah menggunakan percakapan biasa dan bermaksud untuk menyindir secara halus.
c. Pemanfaatan Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa berdasarkan makna terdiri atas kiasmus, pleonasme, perifrasis, silepsis, hiperbol, paradoks, oksimoron, simile, metafora, personifikasi, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hiplase, dan sarkasme (Keraf, 2010:136). Dalam naskah drama ‘’Kejahatan Membalas Dendam’’ ditemukan gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan sesuatu hal, seperti pada kutipan dialog berikut:
ISHAK :” Tidak banyak bedanya, Satilawati. Aku harus berbicara dengan tunanganku dalam gelap, di jalan yang sunyi. Ha, ha, ha, ha”.

d. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Bunyi
Bunyi dapat digunakan sebagai gaya bahasa untuk menimbulkan suatu efek pada karya sastra. Gaya bunyi ini ialah aliterasi dan asonansi. Yang dimaksud aliterasi ialah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama dan yang dimaksud asonansi ialah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vocal yang sama (Keraf, 2010:130).
Seperti pada kutipan berikut:
ISHAK :” Engkau pelupa rupanya. Sebentar ini baru kukatakan. Aku cinta padamu dan aku akan pergi”.
SATILAWATI :” Engkau menyebutkan cinta dan pergi itu dalam satu nafas saja. Seakan-akan ada hubungannya antara kedua itu”.

e. Pemanfaatan Gaya Bahasa Klimaks
Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya, seperti pada kutipan dialog berikut.
SATILAWATI :” Kalau itu tidak perlu di sini benar. Mari kita ke rumah”.
ISHAK :” Aku akan pergi”.
SATILAWATI :” Pergi? Ke mana?”
ISHAK :” Jauh, jauh sekali. Di rumahmu aku tidak dapat bercakap”.
SATILAWATI :” Mengapa?”
ISHAK :” Tidak boleh orang mendengarnya, ayah pun tidak”.

f. Pemanfaatan Gaya Bahasa Paralelisme
Gaya bahasa paralelisme ialah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 2010:126). Gaya bahasa tersebut ditunjukkan dalam kutipan dialog berikut.
SATILAWATI :” Mengapa?”
ISHAK :” Tidak boleh orang mendengarnya, ayah pun tidak”.
SATILAWATI : “Tapi ayah selalu baik kepada kita. Lagi ia tidak ada di rumah
sekarang. Pergi menjemput nenek ke setasiun”.

g. Pemanfaatan Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif (makna sebenarnya) adalah makna yang paling dasar pada suatu kata, disebut makna denotative karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan, stimulus (pihak pembicara) dan respon (pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap panca indra (kesadaran) dan rasio manusia (Keraf, 2010:28).
Makna konotatif (makna kiasan) suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju–tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar, dipihak lai, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Bila sebuah kata mengandung konotasi yang salah, misalnya kurus kering untuk menggantikan kata ramping dalam sebuah konteks yang saling melengkapi, maka kesalahan semcam itu mudah diketahui dan diperbaiki. Jadi, sangat sulit dibedakan makna kata-kata yang bersinonim, tetapi mungkin mempunyai perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu. Makna tersebut ditunjukkan dalam kutipan dialog berikut:
SATILAWATI : “Aku seperti main dalam cerita detektif saja rasanya”.
(Konotatif)
: “Aku seperti main dalam cerita rahasia saja rasanya”
(Denotatif)
Makna dari kata detektif ialah seseorang yang merupakan anggota polisi rahasia yang menginfestigasi kejahatan dan memperoleh bukti atau informasi.

ISHAK :” Tidak banyak bedanya, Satilawati. Aku harus berbicara dengan tunanganku dalam gelap, di jalan yang sunyi. Ha, ha, ha, ha”.
: “Tidak banyak bedanya, Satilawati. Aku harus berbicara dengan tunanganku di malam hari, di jalan yang sepi. Ha, ha, ha, ha”.
Makna dari kata dalam gelap ialah menggambarkan situasi pada malam hari, dan kata jalan yang sunyi, menggambarkan kondisi jalan yang sepi.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kejelian dan kelihaian Idrus dalam memilih gaya bahasa membuat ‘’Kejahatan Membalas Dendam’’ hadir tidak hanya mempunyai estetika yang tinggi, tetapi juga mempunyai pemaknaan yang dalam. Salah satu faktor pembentuknya adalah penggunaan gaya bahasa yang cermat. Oleh sebab itu, telaah stilistika sangat penting sebagai salah satu dasar untuk menganalisis suatu karya sastra, tidak hanya berhenti pada analisis kebahasaan tetapi sampai menganalisis bagaimana gaya pengarang dalam setiap penciptaan karyanya.

Daftar Pustaka
Asmara, Adhy. 1983. Cara Menganalisa Drama. Yogyakarta: Nur Cahaya
Jassin, H. B. 1977. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tarigan, H.G. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
WS, Hasanuddin. 2009. Drama Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa
http://ruangpendidikan.wordpress.com

Leave a comment